Sosiologi Di Waktu Senggang (RESUME BUKU)

 

SOSIOLOGI WAKTU SENGGANG: EKSPLOITASI DAN KOMODIFIKASI PEREMPUAN DI MAL

 

Resensi Buku - Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi dan Komodifikasi  Perempuan di Mal - Admin Pondok Kanal
 
                                                                 (Gambar: Admin Pondok Kanal Blogger)

Jumriani Nur, Ramalia, Miftahul Khaer

Fakultas Ekonomi Islam dan Bisnis Islam

Jurusan Ekonomi Islam

Kelas A

Buku ini bercerita tentang waktu, bagaimana seseorang memanfaatkan waktu. Waktu adalah pertarungan yang sengit dalam produksi kapitalistik. Antagonisme antara buruh dengan kapitalis muncul dalam perebutan waktu. Buruh menginginkan waktu kerja yang lebih sedikit, sementara kapitalis sebaliknya. Pemahaman ini menjadikan fokus perlawanan terhadap kapitalisme diarahkan di dalam ruang dan produksi.

Dulu waktu senggang memiliki makna sosialisasi yang memaknai nilai-nilai kemanusiaan yang kita hadapi bersama dalam kehidupan sosial. Saat ini pemahaman tentang waktu senggang mulai berbeda. Banyak orang yang memaknai waktu senggang dengan hal-hal konsumerisme yang popular di kota-kota. Ini mengarah kepada budaya berbelanja dan menghabiskan uang demi keperluan semata, demi sesuatu yang artifisial semata.

Waktu senggang lebih dikaitkan dengan hal-hal  yang bersifat konsumsi, seperti mal, online, makan, jalan-jalan, belanja dan nonton. Inilah yang menjadi hal yang sering dikaitkan dengan waktu senggang. Berdasarkan buku ini, waktu senggang yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di kota Makassar yaitu mal. Dalam masyarakat Makassar kontemporer pun, sudah menjadi hal yang lumrah kalau waktu senggang dihabiskan di mall.

Penghampiran Teoritik

Ada beberapa yang harus kita ketahui, tentang konsep waktu senggang itu sendiri. Konsep habitus selalu dikaitkan dengan hal ini, habitus dipakai Buordieu untuk menjelaskan sikap individu dalam sebuah masyarakat sebagai sebuah kenyataan sosial. Habitus merupakan sebuah keadaan dalam lingkup masyarakat yang telah melahirkan sebuah perubahan dalam fakta sosial.

Seperti halnya yang telah disampaikan di awal bahwa waktu senggang yang dilakukan dahulu dilakukan dengan hal-hal yang sifatnya produktif. Berdiskusi, bersosialisasi, hal-hal ini yang dilakukan oleh orang-orang pada era Yunani klasik. Dan ini sudah berbeda yang telah dilakukan Amerika, di era industrian ini, waktu senggang di tandai dengan hal-hal yang sifatnya jauh dari kesibukan.

Jauh dari itu, titik focus buku ini lebih kepada bagaimana sikap perempuan Makassar dalam memaknai waktu senggang seperti berkunjung ke mall, tidak lagi dengan makna kontemplatif, tetapi pada makna simbolik konsumsi. Inilah yang menjadikan tumbuhnya masyarakat konsumen.

Tentang Waktu Senggang: Beberapa Konsepsi

Banyak ahli dikalangan ilmuwan dan teoritisi sosial memberikan konsep terhadap waktu senggang itu sendiri. Seperti Josep Pieper yang menjadikan waktu senggang sebagai dasar kebudayaan. Karya yang popular Leisure: The Basic of Culture, yang membahas seluk beluk waktu senggang sebagai dasar kebudyaan dan menalarka tentang tindakan filosofis.

Menurut Pieper, waktu senggang adalah dasar yang meletakkan pondasi kebudayaan, yang dimana ini lebih bermakna sosialisasi dan lebih kepada nilai-nilai kemanusiaan. Terlebih lagi Josep Pieper lebih menitikberatkan bahwa waktu senggang adalah perayaan atas kegiatan, pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan. Semua orang berhak menikmati kebebasan atas proses kebudayaan dalam waktu senggang.

Dhavid Chaney dalam bukunya Life Style Sebuah Pengantar Komprhensif, memaknai waktu senggang sebagai landasan historis tumbuhnya masyarakat konsumsi. Chaney menulis: ‘Konsumsi dipahami sebagai pola-pola waktu luang masyarakat yang akan saya cirikan sebagai ekspektasi baru pengendalian dan penggunaan waktu dengan cara-cara yang bermaksna secara pribadi’. Inilah mengapa waktu senggang yang dimaksud oleh Chaney ini lebih dilakukan dengan hal-hal yang sifatnya konsumsi. Lahirnya pusat perbelanjaan seperti mal menjadikan pergeseran waktu luang lebih kearah yang komersial.

Tokoh berikutnya yang berbicara waktu senggang yaitu, Jean P. Baudrilard yang lebih menganggap waktu senggang sebagai nilai tukar. Dalam bukunya mengenai masyarakat konsumsi, Baudrilard membahas waktu senggang di dalam masyarakat kapitalis sama dengan waktu lainnya yang berfungsi sebagai pembawa material, sebagai ekspersi dari nilai guna. Itulah mengapa waktu senggang hanyalah manifestasi dari nilai guna yang akan dipertukarkan sebagai nilai tukar. Ini didasarkan pada statemennya mengenai ‘waktu adalah uang’. Inti sebenarnya yang ingin disampakan oleh Baudrilard, waktu senggang hanya merupakan ekspresi dari nilai guna yang dipertukarkan dalam mode produksi tanda-tanda dalam masyarakat.

Tokoh selanjutnya yang membahas mengenai mengenai waktu senggang yaitu Torstein Veblen, yang mengartikan waktu senggang sebagai upaya pencapaian kelas. Dalam bukunya The Theory of Leisure Class: An Economic Studi of Institutions, mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi konsumsi berlebihan masyarakat ‘kelas waktu senggang’, diantaranya yaitu pencapaian kelas. Hal ini dengan melakukan langkah-langkah bertahan hidup modern yang kuat.

Intinya, menurut Veblen bahwa waktu senggang merupakan proses simbolis untuk mencapai kelas sosial tertentu, dengan konsumsi secara berlebihan yang sebenarnya dalam pengonsumsian suatu barang tersebut jauh dari nilai fungsional. Artinya, ini merupakan instrument modern yang digunakan masyarkat untuk merebut  kelas atau status sosial yang diinginkannya.

 Setting Sosio-Historis Kota Makassar

Berbicara tentang kota Makassar, kota ini mulai terbentuk akhir abad ke- 17. Berbagai kelompok masyarakat yang ada di kota ini, termasuk Melayu, Cina, Belanda, Bugis, Jawa, dan Makassar tentunya.

Sampai pada era sekarang, kota Makassar layaknya metropolitan. Berbagai bangunan, budaya dan gaya hidup telah berakar didalamnya. Ini terlihat dari aktifitas perdagangan yang dilakukan baik regional maupun internasional. Di lihatnya berbagai bangunan yang bernuansa barat, timur dan lain sebagainya, menjadikan seseorang dapat menghabiskan waktu luangnya. Inilah latar belakang tumbuhnya kota Makassar pada abab ke-20 yang membuat lahirnya masyarakat konsumsi modern di kota ini.

Perkembangan Makassar saat ini dan melekatnya label Makassar city world (Makassar Kota Dunia), menjadikan kota Makassar layaknya kota dunia. Deretan ruko, supermarket, hotel-hotel mewah telah tumbuh dan menjadi keseharian masyarakat, sehingga inilah yang menyebabkan keluar masuknya modal secara cepat. Inilah yang disebut David oleh David Harvey dan Manuel Castell’ adanya dialetika antara proses spasial dengan proses sosial, antara ruang dan masyarakat. Ruang, seperti juga masyarakat, memiliki sejarah, dan sejarahnya dibentuk dalam dialetika dengan masyarakatnya. Hasil dari dialetika ini melahirkan kota Makassar saat ini sebagai kota lama yang dibangun oleh kolonial dengan motif imperatif-imperatif ekonomis.

Motif ekonomi ini tentu tidak terlepas dari tujuan dominan dari proses imperialisasi dan kolonisasi yakni eksploitasi surplus ekonomi. Tumbuhnya pusat perbelanjaan inilah pada akhirnya, merubah kebiasaan masyarakat Makassar untuk menyesuaikan kondisi kesadarannya dengan symbol-simbol modernitas kapitalis. Motif ekonomi ini juga terlihat dari visi kota ini “Makassar adalah Kota Maritim, Niaga, Global, Budaya dan Jasa yang berorientasi Global, Berwawasan lingkungan dan paling bersahabat”. Serta terlihat jelas dalam cita-cita ‘Makassar Kota Dunia’ yang secara teoritik memang menunjukkan imperative-imperatif ekonomi yang amat dominan.

Kota Makassar saat ini layaknya kota yang diisi dengan gedung-gedung sebagai penanda tingginya kuasa modal di dalamnya. Sejumlah tempat-tempat yang biasa digunakan untuk mengisi waktu senggang bersama disebuah tengah kota, berubah seketika masuknya berbagai perusahaan asing menginjakan kekuasaan di kota ini. Apa yang tampak saat ini mulai munculkan berbagai persepsi bahwa kota ini penuh dengan berbagai hingar-bingar, kota yang telah dibatasi oleh privatisasi ruang publiknya.

Adanya privatisasi ruang public inilah yang menjadikan akses untuk mengisi waktu senggang masyarakat telah bergeser. Mal lah yang menjadi tempat untuk mengisi waktu senggang seseorang. Dan disinilah mungkin titik terang mulai lahirnya masyarakat konsumsi di Makassar. Ketika symbol dominan dalam sebuah tata ruang menjadi symbol konsumsi masyarakat kapitalis. Inilah yang menjadi gambaran kota Makassar saat ini.

Kota Makassar mempunyai posisi yang startegis dan inilah menjadi salah satu aspek bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modalnya ke kota ini. Ini di tandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan perdagangan sekarang. Berbagai pusat wisata ada di kota ini, inilah yang menjadikan kota Makassar  sebagai pilar perkembangan Indonesia timur. Dan inilah yang menjadi potensi betapa banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Makassar.

Representasi Waktu Senggang Masyarakat Makkassar Dalam Bentangan Waktu

Ada beberapa fase perkembangan mengenai waktu senggang dari waktu ke waktu di Kota Makassar. Pertama, waktu senggang di perkumpulan sosial konsumtif,  dimana gedung yang dibuat pada masa Pemerintahan belanda diperuntukkan untuk rekreasi. Sebagai tempat rekreasi diwaktu senggang itu yang digunakan di era colonial, setelah itu dizaman sekarang orang-orang pribumi mengadopsi hal demikian yang sifatnya lebih konsumtif lagi. Kedua, berwaktu senggang di pesangrahan tepi pantai, selanjutnya sebagian orang menghabiskan waktu senggangnya di bagian sekitaran tepi pantai dan ini masih seperti demikan hingga saat ini. Bahkan banyak wisatawan yang berasal dari berbagai dari daerah mengisi waktu senggangnya di tempat ini. Ketiga, berwaktu senggang di bioskop, seiring dengan perkembangan zaman, telah banyak dibangun berbagai macam bentuk ciri kapitalis. Seperti halnya, bioskop. Banyaknya bioskop di Makassar menjadikan masyarakat menghabiskan waktu senggangnya di tempat itu. Kehadiran bioskop-bioskop ini menandakan kegiatan waktu senggang masyarakat sudah memasuki hiburan modern. Telah tampak ciri masyarakat saat ini menghabiskan waktu senggangnya di tempat yang zaman dahulu telah di isi sebagai waktu senggang tapi sekarang lebih sifatnya konsumtif.

Sebelum adanya mall yang digunakan sebagai sarana menghabiskan waktu senggang di masa sekarang. Dulu, sebelumnya adanya tempat ini masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu senggangnya ditempat yang beraneka ragam. Pertama, perpusatakaan, inilah tempat yang paling sering dikunjungi sebelum mulai jamurnya mall. Beberapa orang mengatakan bahwa menghabiskan waktu senggang di perpustakaan jauh lebih baik, daripada menghabiskan waktu senggangnya untuk pergi berlibur di luar kota. Selain itu, mereka menganggap bahwa ini dapat memperkaya intelektual mereka. Inilah waktu senggang yang sering dihabiskan warga Makassar sebelum adanya mall. Kedua, berwaktu senggang di ruang public dan tempat olahraga, selain diperpustakan, masyarakat menghabiskan waktu senggangnya ditempat terbuka. Tempat yang menjadi icon kota Makassar seperti Lapangan Karebosi sering dijadikan tempat untuk menghabiskan waktu senggangnya. Selain lapangan karebosi, pantai losari juga sering dijadikan tempat untuk mengisi waktu senggang.

Seiring berjalannya waktu, dan pembangunan berbagai macam infrastruktur telah dibangun. Pergeseran dalam menghabiskan waktu senggang seseorang telah berubah. Mall dijadikan pusat untuk menghabiskan waktu senggang mereka, tempat shopping, makan, sebagai ekspresi menghabiskan waktu senggang masyarakat. Inilah yang menjadikan masyarakat lebih konsumtif. Mall telah menjadi femonenal di kota Makassar.

Yang ‘Terpesona’ dan ‘Yang Terpaksa’ Ke Mall

Mal menjadikan dirinya pusat dari segala perhatian. Inilah yang fenomena yang terjadi tengah masyarakat ssat ini. Apa yang menjadi alasan utama mal dijadikan tempat menghabiskan waktu senggang. Untuk menjawab pertanyaan ini, berbagai macam jawaban telah menjadikan mal digumuli oleh masyarakat. Diantara jawaban tersebut yaitu, Mal itu nyaman dan bersih, lebih murah dan praktis, lebih lengkap, tempat bersosialisasi dan mencari hiburan. Berbagai macam jawaban yang telah menjadikan mal sebagai tempat berwaktu senggang. Di era saat ini, masyarakat mulai terpesona dengan apa yang telah disajikan dalam satu paket lengkap di dalam mal. Bahkan berbagai kelas sosial, yang tidak mampu untuk menginjakkan kakinya disana telah menjadi suatu keharusan untuk memasuki dunia tersebut.

Sebenarnya, masyarakat mulai terpengaruh apa yang sebenarnya tidak mampu ia lakukan. Karena tuntutan inilah yang menjadikan seseorang mulai berbondong-bondong ke mal untuk menghabiskan waktu senggangnya.

Konsumsi Waktu Senggang Dalam Masyarakat yang Terkomodifikasi

Mall sebagai model komodifikasi menghabiskan waktu senggang. Sulit membedakan antara aktivitas waktu senggang dan aktifitas consumer. Yang mana konsumsi telah menjadi bagian dari gaya hidup dalam waktu luang. Berbagai hasil wawancara telah dilakukan bahwa seseorang dalam menghabiskan waktu senggangnya di mal lebih cenderung bersifat konsumtif. Dan inilah yang memudahkan kaum kapitalis untuk memanfaatkan hal ini dengan membangun brand yang dapat mengiurkan para konsumen yang sedang berkunjung di mall apalagi dengan adanya kebijakan untuk dapat dengan mudah mengakses pasar yang ada di Kota ini. Maka pada akhirnya, apa yang dipraktekkan disini dalam waktu senggang hanya bermuara pada proses komodifikasi. Dimana waktu senggang menjadi komoditasnya.

Perempuan selalu menjadi korban dalam hal ini, karena telah menjadi hal yang lumrah perempuan dalam hal mengonsumsi atau berbelanja berbagai macam kebutuhan sehari-hari, inilah yang menjadikan perempuan sebagai potensi yang besar untuk menghabiskan waktu luangnya ketempat seperti ini. Pada akhirnya perempuan menjadi bagian penting dari perputaran komoditas. Perempuan menjadi, semata-mata bagian dari proses komodifikasi massal bagi berlangsungnya perputaran modal. Inilah yang menjadikan perempuan dan aktivitas waktu senggang memiliki keterkaitan yang sama-sama terkomodifikasi oleh instrument modal yang menyeru untuk berbelanja dan menghabiskan waktu senggangnya di tempat yang indah itu: mall.

Seiring berjalannya waktu dan penguasaan dunia berada di genggaman kaum kapitalisme, seluruh aspek kehidupan kita telah di nodai oleh para kapitalis. Apa yang kita sebut sebagai waktu luang telah dikomodifikasi oleh kaum kapitalis untuk dijadikan modal. Ciri ini telah tampak saat kita telah mengonsumsi berbagai kebutuhan di mall, yang seharusnya bukan menjadi kepentingan kita (tidak dibutuhkan).

Inilah yang coba dipaparkan dalam buku ini, bagaimana waktu senggang telah bergeser dari waktu ke waktu, sampai sekarang ini waktu senggang seseorang telah banyak digunakan di tempat-tempat yang membuat seseorang lebih konsumtif akibat dari imprealisme budaya. Apa yang tertanam saat ini dalam jiwa setiap individu telah menjadikan lahan modal bagi setiap penguasa yang telah mengeksploitasi dan memodifikasi perempuan pada umumnya.

 


 

Komentar